twitter
rss



SURAT UNTUK KAMI
            Tuhan dengan segala otoritas yang dimiliki-Nya telah menciptakan manusia berbeda-beda dan bersuku-suku agar satu sama lain saling mengenal dan tentu saja untuk berfikir betapa agung Dia.
            Dari cuplikan makna ayat yang saya kutip jelas tersirat bahwa manusia berlainan satu dengan yang lain. Lantas mengapa masih banyak saja yang berfikiran sempit bahwa semua anak harus memiliki kemampuan yang sama dengan anak lain, khususnya dalam bidang akademik. Coba tunjukkan pada saya, apa salahnya apabila Abil mahir di bidang otomotif saat usianya baru menginjak 12 tahun? Tidak cermatkah Tuhan menganugerahi Bryan dan Raffito kemampuan yang luar biasa  dalam bidang olahraga? Betapa pongahnya kita yang notabene hanya makhluk Tuhan berani menyalahkan penciptanya.
            Semua anak terlahir dengan karakteristik dan kelebihan yang tentu melekat padanya bersamaan pula dengan kelemahan yang sudah menjadi kodratnya sebagai manusia. Lantas apa yang dapat kita lakukan sebagai orang tua (baik di rumah maupun di sekolah) untuk menyiasati ketidakseragaman pada mereka? Tentu, selain menerima, bersama-sama kita wajib menggali kelebihan pada mereka dan selalu mengedepankan prinsip Do The Best.
            Tidak dapat dinafikkan bahwa mereka terlahir di republik yang penguasanya masih saja congkak dengan memaksakan UN/US sebagai tolok ukur kecerdasan seorang anak. Padahal menurut rilis PISA* tahun 2013 Indonesia menempati peringkat buncit kedua , setingkat di atas Peru. Apa artinya? Artinya anak Indonesia tidak memiliki kemampuan bernalar yang baik dan menyebabkan mereka tidak akan bisa menjadi problem solver walaupun itu untuk dirinya sendiri. Tentu yang lebih mengerikan adalah 20 tahun mendatang anak Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan anak di belahan dunia lain.
            Apa yang salah? Jawabannya sudah tentu akan mengerucut pada satu kata : “Pendidikan”. Menurut mendiang Nelson Mandela Education is the most powerful weapon which you can use to change the world. Jelas sudah akar masalahnya. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana memperbaiki sistem yang sudah sedemikian usang diganti dengan yang baru. Sebenarnya KiddoZ School yang berstatus sebagai private school memiliki kemampuan untuk menjadi motor penggerak perubahan di Negara tercinta.
            KiddoZ sudah melakukukan gerakan kecil dengan menerapkan small class sehingga interaksi guru dengan siswa dapat berjalan lebih intens. Siswa tidak lagi merasa ewuh pekewuh bila ingin bertanya pada guru tentang hal yang belum dia pahami. Gebrakan yang dilakukan KiddoZ tahun ini lebih revolusioner lagi. Dengan segala risiko berupa complaint dari orang tua, KiddoZ membagi kelas 6 menjadi dua kelas : A dan B. Kelas 6A berisi 14 siswa, sedang kelas 6B berisi 8 siswa. Pasti banyak yang bertanya-tanya mengapa pembagiannya tidak merata. Apabila dipandang secara kuantitas tentu keputusan ini terasa janggal. Di balik semua itu, ada misi yang ingin KiddoZ capai, yaitu mengantarkan 22 anak baik yang di A dan B ke tingkat optimum mereka sesuai harapan orang tua, sekolah, dan tentu saja pemerintah.
            Menurut sudut pandang saya (jika pembaca tidak sepakat, tidak masalah), delapan anak yang mendiami kelas 6B hanya ingin diakui keberadaannya, yang selama ini belum atau sedikit orang yang mau mengakuinya. Mereka hanya butuh support berupa complement dari lingkungan terdekat mereka, terutama keluarga, teman, dan sekolah. Beri mereka pujian tulus apabila mereka mampu mengerjakan tugasnya dengan baik dan sesuai jadwal. Jangan lupa pula beri punishment jika mereka lalai. Tanya mereka mengapa mereka lalai, sebelum memberi tindakan agar mereka tidak mengulanginya lagi. Cara ini bukanlah sulap yang sekali dilakukan akan berhasil. Semua butuh proses. Dan kami berpacu dengan waktu.
            Pengalaman yang dapat saya sharing adalah kalau kita lebih jeli, kita akan tahu bahwa anak-anak lebih hafal segala hal yang menyangkut One Direction, entah nama personilnya, kapan berdirinya, single hits, bahkan kebiasaan personilnya mereka paham sepaham-pahamnya. Menjawab pertanyaan tentang 1D pun mereka akan pasang wajah cerah ceria. Bandingkan ketika Ms nya bertanya tentang pelajaran, mikirnya lama dengan kening berkernyit, bibir monyong 1 mili, jawabnya salah pula. Hadewww. Why,,,oh why, tell why oh why? Kebanyakan dari anak didik kita tidak kasmaran dengan pelajaran, tidak seperti mereka begitu tergila-gila dengan 1D. Apabila ada fasilitas unfollow, unfriend, atau delcont yang bisa mereka pilih untuk menghapus mata pelajaran yang tidak mereka sukai dan hal itu diniscayakan pasti salah satu fasilitas tersebut akan digunakan dengan suka cita. Mendengar kata Daily Test atau sejenisnya dengan serta merta akan mengubah mood mereka. Daily Test atau sejenisnya membuat mereka nyesek walau tidak se-nyesek kalau chat mereka tidak dibalas (cc : @cellashagyna, @septiawidhayaka, @chafarsya).           
            Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ada yang salah. Kesalahan terletak di mana? Tentu yang pertama adalah guru. Guru adalah aktor utama dalam sebuah pendidikan. Saya analogikan seperti ini : Guru adalah seorang pemanah, busur adalah sistem sedangkan siswa adalah anak panah. Apabila anak panah tidak tepat pada sasarannya, maka yang perlu perbaiki terlebih dahulu adalah sang pemanah. Bukan begitu?
            Waktu bergulir begitu cepat, hingga tak terasa kurang 1 bulan kelas 6 akan menghadapi Ujian Sekolah (US) yang diklaim pemerintah bukan sebagai UN, namun bagi saya itu hanya kamuflase. Namanya saja yang berubah, konsepnya tetap mengadopsi UN tahun-tahun sebelumnya. Lupakanlah apa kata pemerintah, yang paling penting, kami sebagai pendidik di KiddoZ akan berusaha sebaik mungkin untuk mengantarkan 22 siswa kali ini untuk menjadi yang terbaik. Untuk itu kami tidak dapat bekerja sendiri, kami butuh orang tua hebat untuk menghebatkan putra/i mereka menghadapi US, salah satu langkah untuk menentukan masa depan mereka kelak. Bagi kami tetap bahwa “The Best Teacher is Parents”

*PISA (Programme for International Students Assessment) which is the aim is evaluate education system by testing the skills and knowledge from students.


0 komentar:

Posting Komentar